Dalam buku Muhammad in The Bible karya Prof. Abdul Ahad Dawud, Guru Besar Teologi. Ia adalah mantan pastor Katolik Roma untuk wilayah Kaldan dan pernah menjadi tangan kanan Paulus, sebelum masuk Islam ia bernama David Benyamin Kaldan. Abdul Ahad Dawud dilahirkan tahun 1867 di satu daerah dekat Urmia, Iran. Pada tahun 1886 hingga 1889, dia menjadi staf pengajar di salah satu lembaga pendidikan misi keuskupan Canterbury bagi masyarakat Nasrani Assyiria (Nestorian) di Urmia. Tahun 1892, Kardinal Voughan mengutusnya ke Roma untuk menempuh pendidikan di Program Studi Filsafat dan Teologi, Fakultas Propaganda Fide. Pada tahun 1895, Abdul Ahad Dawud resmi diangkat sebagai pastor.
Melalui prakata dan tulisan-tulisan berikutnya, saya (Prof. Abdul Ahad Dawud) akan menjelaskan bahwa akidah Islam merupakan keyakinan paling benar, khususnya yang berkaitan dengan Dzat Tuhan dan Rosul Terakhir. Selain itu, hal ini untuk menunjukkan bahwa akidah Islam besesuaian dengan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Bibel.
Dalam prakata ini saya akan mendiskusikan poin pertama. Di dalam rangkaian tulisan berikutnya saya akan menunjukkan bahwa Muhammad adalah tujuan sebenarnya (dari janji tuhan). Semua nubuat, baik yang terdapat di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, benar-benar hanya menunjuk diri Muhammad secara eksplisit.
Pendapat di dalam pembahasan ini maupun di dalam tulisan-tulisan berikutnya merupakan pandangan subyektif yang saya tanggung secara pribadi. Saya bertanggungjawab sepenuhnya atas semua penelitian mengenai teks-teks suci dalam bahasa Ibrani ini. Kendati demikian, saya tidak berani mengklaim bahwa saya adalah seorang yang benar-benar ahli dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam.
Saya sama sekali tidak berniat atau berkeinginan untuk menyakiti perasaan sahabat-sahabat saya yang beragama Nasrani. Sebab, saya mencintai Isa, Musa dan Ibrahim, sebagaimana saya mencintai Muhammad dan semua nabi Alloh yang lain.
Alloh berfirman:
“Katakanlah (Muhammad): Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.” (QS. Ali ’Imran: 84)
Perlu disadari, tulisan saya ini bukan untuk memicu terjadinya perdebatan sengit yang tak jelas ujung pangkalnya dengan pihak Gereja. Karya ini hanya sebagai seruan agar mereka bersedia melakukan penelitian yang cermat terhadap semua topik penting disini dengan semangat cinta dan proporsionalitas. Kalau saja orang Nasrani mau menghentikan usaha mereka yang sia-sia untuk mengetahui Dzat Tuhan, lalu mengakui ke Esaan-Nya yang mutlak, maka peluang untuk mempersatukan mereka dengan umat Islam lebih dimungkinkan. Sebab, semua titik perselisihan lainnya yang terdapat diantara kedua agama ini pasti makin mudah diselaraskan.
Sifaf-Sifat Alloh
Ada dua poin mendasar antara Islam dan Nasrani yang sangat perlu dikaji untuk menemukan kebenaran dan perdamaian yang sempurna. Masing-masing dari dua agama ini pada dasarnya merujuk pada satu sumber yang sama. Dengan demikian semestinya tidak perlu muncul perselisihan di antara keduanya. Kedua agama agung ini sama-sama mempercayai eksistensi Alloh dan adanya perjanjian yang dilakukan Alloh dengan Ibrahim.
Berkenaan dengan dua poin berikut ini seharusnya dicapai satu kesepakatan akhir antar pemeluk yang menyikapi agama mereka dengan sikap rasional. Poin pertama, kita harus memilih apakah kita akan menyakini Tuhan yang berbilang atau Tuhan Maha Tunggal yang tidak ada duanya? Poin kedua, siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Perjanjian Tuhan (Divine Conveant), Isa atau Muhammad? Kedua pertanyaan inilah yang harus ditemukan jawaban akhirnya.
Pertama, sia-sia saja jika kita berusaha mendebat sebagian orang, yang karena kebodohan mereka, berani menyatakan bahwa Tuhan dalam Islam bukan Tuhan yang sebenarnya. Mereka menganggap Tuhan dalam Islam hanya rekaan Muhammad. Kalau saja para pendeta dan para teolog Nasrani memahami isi Kitab Suci mereka dalam bahasa asli: Ibrani (hebrew) dan Arami (Aramaic), bukan dalam bentuk terjemahan, sebagaimana umat Islam mengetahui isi Al-Qur’an dalam teks asli berbahasa Arab, tentu akan lebih jelas bagi mereka bahwa lafal ”Allah” merupakan nama agung kuno untuk Dzat Mahatinggi yang mengutus Adam dan semua Rosul setelahnya.
Allah adalah Dzat yang Mahatunggal, Mahaada dan dengan Dzat-Nya, Maha Meliputi segala sesuatu. Dialah yang menjadi sumber semua bentuk kehidupan, pengetahuan, dan energi. Dialah Yang Maha Mencipta, Maha Esa, Maha Mengatur, dan Maha Memperjalankan jagad raya ini.
Esensi dan bentuk Dzat Tuhan jelas berada diatas pengetahuan dan kemampuan manusia. Usaha apa pun yang dilakukan untuk mengetahui esensi-Nya bukan hanya sia-sia belaka, tetapi juga akan berbahaya bagi penghambaan (’ibadah) dan keimanan seseorang serta pasti menyeret ke arah kesesatan.
Selama 17 abad, aliran Nasrani Trinitarian telah menguras pemikiran para pendeta dan para filsufnya untuk terus mencari definisi serta identitas Dzat Tuhan. Namun, apa yang dapat mereka capai? Para pengikut Athanasius, Augustine, dan Thomas Aquinas telah mewajibkan para pemeluk Nasrani –dibawah ancaman sebuah kutukan abadi- untuk menyakini doktrin trinitas dan mengakui bahwa Allah adalah ”yang ketiga dari bagian trinitas”. Berkenaan dengan hal itu, Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
” Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 73)
Para ulama enggan berusaha mendefinisikan esensi ketuhanan karena esensi-Nya melampaui segala sifat yang dapat digunakan untuk mendefinisikan-Nya.
Allah memiliki banyak nama yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya serta diambil dari bukti-bukti penciptaan di jagad raya yang Dia ciptakan sendirian ini. Kita dapat berdoa kepada Allah dengan nama-nama-Nya: al-Qadir (Mahakuasa), al-Baqi (Mahakekal), al-Hayy (Mahahidup), al-Qayyum (Maha Mengurus mahkluk-Nya), al-Alim (Maha Mengetahui), ar-Rahim(Maha Penyayang), dan sebagainya. Sifat kekal, hidup, Maha Mengurus, Mengetahui secarasempurna, dan sifat kasih sayang, mutlak memancar dari-Nya. Hanya Dia yang ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, kekekalan-Nya, serta kasing sayang-Nya tidak berbatas. Hanya dari-Nya pula semua sifat itu memancar.
Ketika salah satu sifat tersebut dinisbahkan kepada seseorang maka sifat pada orang tersebut menjadi relatif. Sebab, ia tidak menjadi sifat unik yang hanya dimiliki oleh satu orang.
Singkatnya, setiap fa’al (tindakan) Allah merupakan salah satu jenis pengejewantahkan dan sifat yang khusus bagi Dia, walaupun fa’al tersebut tidak dapat dianggap sebagai esensi-Nya.
Sementara itu, umat Nasrani justru mencampuradukkan sifat-sifat Tuhan dengan esensi ketuhanan. Contohnya ketika mereka menjadikan Sang Maha Pencipta sebagai Tuhan Bapa; menjadikan Kalimat-Nya sebagai Tuhan Putra; menyakini bahwa ketika Allah meniupkan roh ke dalam jasad mahkluk-Nya maka ruh itu dapat disebut sebagai Roh Kudus. Orang-orang Nasrani itu alpa bahwa secara logis, Allah tidak mungkin menjadi ”Bapa” sebelum adanya mahkluk, tidak mungkin dapat menjadi ”Putra” sebelum Dia mengeluarkan Kalimat-Nya, dan tidak dapat menjadi ”Roh Kudus” sebelum Dia memberi kehidupan kepada mahkluk-Nya.
Disisi lain, kita dapat mengetahui sifat-sifat Allah dari semua fa’al-Nya setelah para mahkluk menunjukkan fa’al-fa’al (tindakan-tindakan) Allah tersebut. Karena itulah kita sama sekali tidak dapat mengetahui sifat-sifat-Nya sebelum Allah melakukan perbuatan-perbuatan. Allah memeng tidak pernah menyingkapkan bagi kita esensi wujud-Nya di dalam kitab-kitab suci yang telah Dia turunkan. Dia juga tidak memberi peluang bagi akal menusia untuk mengetahui sendiri esensi wujud-Nya tersebut.
Sifat-sifat Allah sebenarnya sama sekali bukan dalam bentuk personifikasi yang berdiri sendiri dan mandiri. Sebab, jika demikian maka Dia tidak bisa dianggap sebagai tiga bagian saja, tetapi akan muncul puluhan bentuk trinitas lainnya.
Itulah sebabnya mengapa kita dapat mengatakan, misalnya, ”Allah adalah Maha Penyayang”, tetapi kita tidak boleh mengatakan bahwa ”Allah adalah kasih sayang”. Sebab, ”kasih sayang” memang bukan ”Allah”, melainkan hanya satu fa’al atau perbuatan-Nya. Itu pula sebabnya mengapa al-Qur’an menisbahkan begitu banyak sifat kepada Allah, seperti, Hakim (Maha Bijaksana), Rahim (Maha Penyayang), ’Alim (Maha Mengetahui), dan sebagainya, tetapi tidak pernah menyebut Allah dengan sebutan mahabbah (cinta), ma’rifah (pengetahuan), kalimah (firman), dan sebagainya.
Orang-orang Nasrani menyakini bahwa kalimatullah (firman Allah) adalah personifikasi Tuhan yang berdiri sendiri, padahal firman Allah hanya sebagai ”media penyampaian” (ta’bir) dari pengetahuan dan kehendak-Nya. Karena itulah Kitab Suci al-Qur’an disebut sebagai ”firman Allah”, sebagaimana di dalam al-Qur’an penamaan seperti ini juga pernah ditujukan kepada Isa: di dalam firman-Nya, ”……sebuah kalimat(firman) dari-Nya….” (QS. Ali ’Imran: 45).
Akan menjadi kesesatan ketika kita menganggap bahwa kalimatullah (firman Allah) adalah personifikasi yang berdiri sendiri; menyangka kalimatullah itu berwujud jadi daging untuk kemudian muncul dalam bentuk seorang laki-laki dari Nazaret; atau dalam bentuk kitab, yang pertama disebut ”Isa al-Masih” dan yang kedua disebut ”al-Qur’an”.
Kalimat pertama yang terdapat Injil Yohanes menjadi ayat yang paling banyak diperdebatkan oleh para penulis Unitarian, hingga akhirnya mereka berpendapat bahwa bacaan yang benar dari bagian tersebut sebagai berikut,
”Pada mulanya adalah firman, firman itu bersama Allah, dan firman itu adalah firman Allah(…the word was God’s).”
Kata God’s berarti ’firman Allah’ yang dalam bahasa Yunani disebut dengan kata Theou. Tetapi kemudian kata Theou ini disimpangkan menjadi Teos yang berarti ’Allah’.
Dari ungkapan ”Pada mulanya adalah firman…” dapat dilihat bahwa ”firman” tidak bisa ada sebelum adanya permulaan. Ungkapan ”firman Allah” (kalimatullah) juga tidak dimaksudkan bahwa ia adalah sebuah substansi yang mandiri, terpisah, dan hidup berdampingan bersama Allah. Akan tetapi ia hanyalah sebagai ”media penyampaian” (ta’bir) bagi pengetahuan dan kehendak Allah ketika Dia berfirman ”Jadilah!” (kun) maka jadi. Ketika Allah berkendak untuk mencipta maka cukup bagi-Nya untuk ”melontarkan” kata perintah ”Jadilah!” (kun!).
Yang paling mengejutkan adalah ungkapan khas Nasrani ”Dengan nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus” sama sekali tidak menyebutkan nama Allah. Padahal ketiga oknum itulah yang dianggap Tuhan oleh kaum Nasrani. Oleh sebab itu, ungkapan al-Qur’an yang menggunakan kalimat ”bismillahirrahahmanirrahim” (dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), jelas secara frontal menjadi bantahan terhadap ungkapan khas Nasrani tersebut. Ungkapan basmalah tadi jelas mengungkapkan fondasi paling esensial dalam agama Islam.
Ungkapan trinitas bagi umat Nasrani jelas tidak dapat dianggap sebagai pengertian Tuhan yang benar. Sebab, ungkapan tersebut telah mengukuhkan berbilangnya oknum Tuhan yang masing-masing dianggap sebagai oknum Tuhan yang masing-masing dianggap sebagai satu oknum yang terpisah dalam bentuk sangat serupa dengan anggota satu keluarga sebagaimana banyak terdapat di dalam kisah-kisah pagan. Allah jelas bukan ”Bapa” dari ”Sang Putra”, sebagaimana Dia juga bukan ”Putra” bagi ”Si Bapa” yang sekaligus tidak memiliki ibu. Dia bersifat kekal (azaliy) yang tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Jadi keyakinan akan keberadaan Tuhan Bapa, Tuhan Putra, dan Roh Kudus, jelas merupakan kekufuran terhadap keesaan Allah. Sebab, hal itu menjadi pengakuan terhadap keberadaan tiga oknum yang tidak sempurna sehingga tidak mungkin menjadi Tuhan yang hakiki, baik ketiga oknum tersebut saling terpisah maupun bersatu padu.
Dari ilmu Matematika kita dapat mengetahui bahwa satuan tidak bisa lebih atau kurang dari satu. Satu tidak mungkin merupakan hasil dari ”satu + satu + satu”. Dengan kata lain, ”satu” tidak mungkin sama dengan ”tiga” karena satu sama dengan sepertiga dari tiga. Teknik hitung sederhana ini juga dapat dianalogikan dengan hitungan bahwa ”satu” tidak sama dengan ”sepertiga”, ”tiga” tidak sama dengan ”satu”, dan ”sepertiga” jelas tidak dapat disamakan dengan ”satuan”. Sebab, ”satuan” merupakan dasar bagi seluruh sistem penghitungan. Dan, angka yang berbilang tidak lain adalah hasil dari penggabungan beberapa ”satuan”.
Orang-orang yang mengakui keesaan Tuhan dalam wujud tiga oknum, biasanya berkata bahwa sebenarnya masing-masing oknum dari ketiga oknum tersebut adalah ’Satu’ Tuhan Yang Mahakuasa, Mahaada, Mahaabadi, Mahakekal, dan Mahasempurna; bukan ’tiga’ Tuhan yang ketiganya sama-sama Mahakuasa, Mahaada, Mahaabadi, Mahakekal, dan Mahasempurna. Yang ada hanyalah satu Tuhan Yang Mahakuasa, dan seterusnya. Jadi kekeliruan memang jelas tampak dalam logika berpikir seperti ini.
Misteri yang dikeluarkan oleh Gereja dapat disimpulkan dalam persamaan berikut:
Satu Tuhan : satu Tuhan + satu Tuhan + satu Tuhan.
Oleh sebab itu: satu Tuhan = tiga Tuhan.
Pertama: tidak mungkin satu Tuhan sama dengan tiga Tuhan.
Kedua: ketika Anda menerima bahwa satu oknum Tuhan yang ”Mahasempurna” sama dengan sekutunya, maka kesimpulan bahwa 1 = 1 + 1 + 1 bukan hanya menjadi bukti kesesatan saja, tetapi merupakan sebuah kedunguan yang melampaui batas.
Sangat bodoh jika kita berusaha memecahkan satu kesalahan dari sebuah masalah dengan menggunakan cara yang salah. Dari sisi lain, Anda tampaknya tidak berani untuk mengakui keimanan Anda terhadap tiga Tuhan.
Di samping itu, sebenarnya kita semua, kaum muslimin dan umat Nasrani, sama-sama mengimani bahwa Allah selalu Hadir dan Ada, dan Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Jadi, apakah masuk akal jika hal itu dilakukan oleh ketiga oknum Tuhan tersebut secara bersamaan? Ataukah hanya salah satu dari ketiga oknum tersebut yang meliputi alam semesta pada satu waktu?
Sesungguhnya ketuhanan adalah sifat bagi satu Tuhan, dan sifat itu tidak dapat berbilang.
Lalu dikatakan kepada kita: masing-masing dari ketiga oknum Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak sama dengan ”dua” yang lain. Jadi ada urutan hierarki tertentu dalam trinitas. Tuhan Bapa selalu menempati tingkatan pertama, kemudian diikuti oleh Tuhan Putra, sedangkan Roh Kudus berada pada tingkatan yang ketiga, karena Dia menjadi Tuhan yang paling rendah derajatnya dibandingkan kedua oknum lain yang menjadi sumber perwujudannya.
Bukankah menjadi dosa dan bid’ah bagi umat Nasrani apabila mereka menyebutkan ketiga oknum dalam Trinitas tersebut dengan urutan terbalik menjadi berbunyi, ”dengan nama Roh Kudus, Tuhan Putra, dan Tuhan Bapa”? Jika memang ketiga oknum tersebut benar-benar setara maka tidak diperlukan adanya penekanan terhadap urutan hierarki seperti itu.
Sebenarnya, bagi orang-orang Nasrani sendiri tidak pernah ada kesetaraan mutlak antara ketiga oknum dalam trinitas. Sebab, kalau memang tuhan Bapa memang benar-benar sama dengan Tuhan Putra atau Roh Kudus dari segi arti kata perkatanya sebagaimana halnya angka 1 pasti benar-benar sama dengan angka 1 yang lain, maka seterusnya Tuhan hanya ”terdiri” dari satu Tuhan saja, bukannya tiga. Satuan tidak mungkin berbentuk pecahan ataupun hasil kelipatan dari dirinya sendiri.
Segala perbedaan yang diakui keberadaannya pada diri ketiga oknum dalam Trinitas –tidak diragukan lagi- pasti menyebabkan munculnya ketidak setaraan: Tuhan Bapa hanya beranak dan tidak diperanakkan; Tuhan Putra diperanakkan dan bukan menjadi yang beranak; Roh Kudus muncul dari kedua oknum yang lain.
Orang-orang Nasrani lalu menyatakan Tuhan Bapa adalah ”sang Maha Pencipta dan Maha Penghancur”; Tuhan Putra adalah ”sang Juru Selamat dan sang Penebus”; Roh Kudus adalah ”sang Pemberi Kehidupan”. Jadi, tidak satu pun dari oknum tersebut yang dapat menjadi sang Maha Pencipta secara mandiri.
Mereka lalu berkata: Tuhan Putra adalah firman dari Tuhan Bapa. Tuhan Putra mewujud menjadi manusia kemudian dikorbankan di tiang salib untuk memenuhi keadilan Bapanya. Adapun penyosokan dan kebangkitan oknum kedua (Tuhan Putra) itu akan disempurnakan oleh oknum yang ketiga (Roh Kudus).
Akhirnya, saya harus mengingatkan kaum Nasrani bahwa selama mereka belum mengimani keesaan Allah secara mutlak dan terus berpegang terhadap doktrin Trinitas, selama itu pula mereka telah kufur terhadap Tuhan yang sebenarnya. Sebab, secara faktual mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Tuhan yang sama persis dengan para penyembah berhala. Cuma satu hal yang membedakan mereka dengan kaum pagan: tuhan-tuhan yang disembah kaum pagan adalah fiktif, sedangkan ketiga tuhan yang diakui Gereja masing-masing memiliki ciri khas tertentu. Yang mereka anggap Tuhan Bapa, itulah Tuhan yang sebenarnya; yang mereka anggap Tuhan Putra, sebenarnya hanyalah salah seorang hamba dan rasul-Nya; Roh Kudus, tidak lain adalah salah satu dari jutaan roh yang selalu berkhidmat kepada Allah.
Sebenarnya, Perjanjian Lama menggunakan kata Bapa hanya sebagai metafora: salah satu julukan untuk Allah guna mengungkapkan bahwa Dialah yang menjadi Sang Maha Pencipta, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Namun, pihak Gereja salah dalam menggunakan kata tersebut di dalam ayat-ayatnya.
Pada nyatanya, Perjanjian Lama dan al-Qur’an sama-sama mengecam doktrin Trinitas, sedangkan Perjanjian Baru tidak secara jelas mendukung ataupun menentang doktrin tersebut. Akan tetapi, kalaupun Perjanjian Baru memang mengandung isyarat akan eksistensi doktrin Trinitas, hal itu tetap tidak dapat dijadikan alasan akan kebenarnya doktrin tersebut. Sebab, al-Masih tidak pernah melihat, menulis, ataupun menyampaikan isi kitab Perjanjian Baru. Perjanjian Baru, dalam bentuk dan isinya seperti yang sekarang, belum pernah ada sepanjang dua abad setelah masa al-Masih.
Patut pula disampaikan di sini bahwa gereja-gereja unitarian di kawasan Timur telah menolak dengan tegas doktrin Trinitas. Mereka kemudian mengikuti Rasulullah yang agung ketika meyaksikan sendiri kehancuran total ”Binatang Buas Keempat” di tangan beliau. Sebenarnya, setan yang berbicara dengan Siti Hawa dari dalam mulut ular juga telah menghembuskan berbagai ungkapan kekufuran untuk menentang Allah melalui ujung sebuah ”tanduk kecil” di antara 10 tanduk yang tumbuh di kepala ”si binatang buas keempat” (Daniel pasal 8)
Setan yang disebut-sebut di sini sebenarnya tak lain adalah Konstantin Agung yang telah mengumumkan doktrin Konsili di Nicea pada tahun 225 M sebagai doktrin resmi melalui pemaksaan yang luar biasa. Tetapi Muhammad telah mengubur iblis ini ke dalam tanah yang dijanjikan untuk kemudian menegakkan agama Allah, yaitu Islam.